Rabu, 18 Juni 2014

Tulisan.

Aku berharap kali ini tertulislah sebuah kisah.
Sebuah cerita untuk memutihkan mata pembaca, mengantarnya pada angan-angannya sebagaimana penulisnya berangan.
Sebuah cerita cinta, romansa, atau kehidupan.
Sebuah tulisan yang diketik oleh sepasang tangan rapuh dan gemetar.
Sebuah kisah yang ditulis karena jatuh cinta, dan sebuah kisah yang ditulis untuk menyembunyikan rasa jatuh cintanya. Karena sebagaimana adanya semua pikirannya adalah tentang dia.
Aku juga berharap kali ini menuliskan cerita seperti itu.

Aku berharap bisa menuliskan kata-kata indah seperti biasanya, yang menyanjung hati aku sebagai penulis. Bukan menuliskan kata-kata sedih dan sayup yang senantiasa menyayat hati pada saat menuliskannya. Karena kali ini aku pun bingung mana yang realita mana yang tidak ada.
Tapi kali ini tokoh utamanya bercerita tentang depresi, tekanan, dan semua kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Tidak tahu ingin melakukan apa, tidak tahu apa yang dapat dilakukan. Tidak tahu bagaimana caranya bahagia, tidak ada yang ingin menolong.

Antara semua keinginannya akan orang yang ia sayang, semua rencananya terhadap orang yang ingin ia sayang, dan semua kisahnya bersama bagian hidupnya yang tentu ia sayangi. Mudah untuk menghancurkannya, hanya dengan melangkahkan kaki keluar dari hidupnya semua bagian hidup itu hancur tersendiri. Sebagaimana satu kaki harus melepaskan diri dari seonggok badan manusia dan hanya meninggalkan bagian pinggang ke atas bagi manusia. Sebuah perut untuk diingatkan bagaimana rasanya lapar, segenggam jantung untuk diingatkan bagaimana rasanya resah, gelisah, saat ia berdetak, satu leher untuk diingatkan bagaimana rasanya haus, sebuah mulut untuk diingatkan bagaimana rasanya dapat berbicara tapi tidak dapat berbicara dengan siapa-siapa, sebuah hidung bahkan untuk mengingatkan bagaimana rasanya sesak, sepasang mata untuk dapat melihat hal-hal yang menyakitkan, sepasang telinga untuk dapat ditutup agar ia tidak dapat mendengar apapun, sepasang tangan untuk dapat menuliskan hari-harinya tanpa perlu bergerak, dan sebuah otak dan pikiran untuk terus mengingatkan bahwa semuanya sudah pergi dan tanganmu hanya untuk menuliskan kisah sedihmu.
Semua, tanpa adanya kaki untuk membuktikan adanya kebahagiaan di luar sana. Semua, karena ia tidak percaya lagi apa-apa. Semua. Karena ia tidak mempunyai keberanian dan kemauan untuk keluar.

Ini hanyalah kehidupan seorang manusia sosial di antara manusia individual. Apa yang terjadi? Ia menjadi seorang diri.

Bukankah menulis adalah pekerjaan orang yang tidak bisa mencurahkan pikirannya pada kesehariannya? bukankah ia merasa bebas jika seorang diri di depan alat tulisnya? Tidakkah ia?

Mayoritas akan segalanya selalu mengalahkan suara minoritas. Suara sia-sia kaum yang merasa terpencil. Tapi mayoritas tidak akan pernah mengalahkan hati nurani manusia.

Hal itu berlaku jika hati nuraninya pun masih utuh.
Semoga tulisanku indah bagimu walaupun selalu mengundang air bagiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar