Rabu, 11 November 2015

Banteng dan Rusa.

Aaah kota ini...
Kota-ku, yang harusnya indah.


Ya, seharusnya.


Mataku tak sungkan menatap bagian indah ini.
Di antara empat nama, 
utara, selatan, timur, dan barat.
Di barat daya, ada orang yang sepertinya memiliki keterbelakangan mental sedang menari-nari kegirangan diatas kenyataan bahwa dia baru saja terbangun dari tidur lelapnya karena suara dentuman keras.
Di Tenggara, ada tiga orang berlari-lari--entah darimana untuk melihat hal yang tidak ada dimanapun mereka berada sebelumnya, sebelum mereka berlari.
Di Timurnya, tidak ada kumpulan kuda bermesin yang biasanya terparkir dengan bangganya, yang seakan membusungkan dada bahwa namanya ada pada sebuah lembaran komunitas
Di Tengahnya, terdapat banyak puing-puing besi yang berserakan, entah untuk apa dia, dan entah harus apa dia.
Di atasnya, terdapat sebuah pohon bercahaya yang sayangnya tidak mau lagi memancarkan indahnya.
Di Baratnya, tidak ada lagi kendaraan zebra, dimana warna abu dan kuningnya terkadang membuat khawatir, dan tanpanya pun tetap membuat khawatir.

Setidaknya, sekhawatir aku saat sedang menatapnya.
Setidaknya, di sebelahku, terdapat sepasang mata pemuda, yang menatapku kagum. pada dirinya sendiri.
Dan aku, yang kagum pada diriku sendiri.

atas bagaimana kami bisa tetap hidup.



Ya, kami adalah saksi nyata dari hal yang seringkali diberitakan di selebaran pohon yang selalu diantarkan pada rumah kalian di pagi hari. Mungkin nanti pagi aku akan melihatnya didalamnya, atau mungkin pada layar temanku, atau mungkin tidak akan kulihat lagi sampai kapanpun.
Sebuah rusa, saling bertemu muka dengan sebuah banteng, dimana diam pun jadi kenyamanan ternyata, dimana berjalan akhirnya terasa menyakitkan, dimana keduanya saling menolak, atau saling bertubrukan.
Tidak, kali ini si bantenglah yang kalah. setelah berputar penuh sebanyak lima kali dan hampir menabrak dua orang yang kali ini sedang hidup, akhirnya mematikan cahaya pohon dengan ekor yang menandakan kekalahannya.

Sayangnya teman, kejadian ini terjadi di kota-ku
Sayangnya, kejadian ini akan lebih indah jika pada kenyataannya, yang bertengkar bukanlah sebuah mobil hatchbag dan mobil truk dua ruas.
Sedihnya, yang terdengar kali ini hanya teriakan marah, dan isakan tangis.

--

Pikiranku terngiang-ngiang atas bagaimana bisa kejadian-kejadian langka ini ternyata ada untuk hiburan mataku, atas bagaimana hiburan ini menjadi sebuah horor, dan akhirnya membangkitkan bulu kuduk aku, yang seharusnya menikmati kotaku. Angin kali ini bukan lagi musuhku, 
tapi ternyata, musuhku adalah aku yang bukan aku,
manusia.

Jalanku pulang tidak lagi diantarkan oleh cahaya rembulan,
tidak lagi dengan kata-kata indah yang selalu terlewat di depan retina mata,
tidak lagi dengan senyuman adakalanya.
sebagaimana aku mengingatnya

Kotaku, kini berbahaya, ya.
Kotaku, kini tertutup dengan kabut.


Aaaaaaaahhh, kota ini...
Kota milikku, yang seharusnya indah.
Kali ini kamu dihiasi kabut sayang,


Sayangnya kamu tidak sejelas dalam kenanganku di atas tanahmu.