Kamis, 04 Desember 2014

Denyut.

Ada saatnya jemari tak tahan lagi untuk diam.
Ada saatnya semuanya ingin ditumpahkan.
Ada saatnya angin malam menyayat lebih dingin.
Ada saatnya sakit terasa terlalu natural.
Ada saatnya sulit menemukan lubang kunci rumah sendiri.
Ada saatnya melepaskan perban terasa begitu sulit.
Karena sakitnya tak tertuangkan.
Ada saatnya, ada….

Air mata tak pernah cocok dengan laki-laki.
Ia terkata bagai lemah bersama.
Semerah darah, katanya.
Tapi bukan kata tepat untuk mengakhirinya.

Terkadang sedih tak dapat terungkap dengan nyata.
Sesulit itu membuat orang mengerti.
Kami bukanlah sebongkah daging dengan perawakan seadanya.
Kami juga bisa merasakan emosi.
Aku, tidak ada bedanya dengan kalian.
Aku juga ingin suatu saat ada yang mengerti.

Karena sakitku, 
banyak.

Dengan semuanya, tak tertuangkan.
Dengan semua kata, yang tak bisa diindahkan.
Karena aku tidak sepertimu, ceritaku hanya berbagi bersama tempat putih di depan layar datar.
Karena tempatku berbagi, ada di atas kertas.
Walau sangat inginnya, berbagi kisah denganmu.
Pada akhirnya tempatku berkisah, hanya disini.
Karena aku juga, takut.
Karena aku juga, jatuh cinta.

Aku, hanya ingin kalau ada yang mengerti.
Bahwa aku juga, ingin.
Menjadi istimewa untuk orang lain.

Ada saatnya mata rabun dengan batasan kaca yang cair.
Ada saatnya mereka bersanding dengan pelipis.
Ada saatnya, hati berdenyut sakit.
Ada saatnya.
Aku Merasakan emosi lagi.

Rabu, 03 Desember 2014

Ketidakberartian.

Aku tenggelam di antara ketidakmengertian.
Terombang ambing di bawah sinar cahaya tidak dan iya.
Aku tergelapkan, tertutupi bagian dari cinta dan lainnya.
Aku buta, tuli, dan sengaja bisu menghadapinya.

Aku terbelenggu akan detak jantungnya.
Aku terikat, tertatih-tatih untuk mendengarnya.
Dan malam, tak pernah lagi menjadi kanvas putihku.
Gelapnya, menjadi tatanan kecam bagi melodi hariku.

Tanganku terikat balutan tinta kosong di sela jemari kaku.
Mulut yang kering terbasahi hanya canda senada.
Mata ternganga menatap tajam tanpa tertuju.
Hati, tak mendapatkan tempat bersuara.
Ditutup.
Diselubungi sebuah tawa.

Yang jujur tak pernah bersua.
Terkata hanyalah bagi yang bercanda.
Didengar hanya bagi yang fana,
Nyata, tak pernah ada di mata.

Aku tersesat di antara kebingungan.
Ternganga di antara banyaknya tanda tanya.
Kamu tak akan pernah melihatnya.
Aku, menutup tempat bertanya.

Aku tak pernah bercerita.
Aku tak yakin akannya.
Bertanya.
Tanyakan padaku dan biarkan aku menangis di pundakmu.

Langitku terakhir kelam.
Beberapa bulan lalu tak bersinarkan bulan.
Bahkan bintang pun jatuh,
Seraya mengalihkan sebentar perhatianku.

Sedihku tak akan pernah jadi sedihmu.
Biarkan aku tahu akan itu.
Bagaimanapun waktu berlalu untuk cerita padamu
Sampai menangis bersama, kamu tak akan tahu rasaku.
Sejujurnya, aku ingin bercerita kepadamu.
Menangis padamu.
Hanya untuk melepaskan dahagaku.

Bagimu yang tercinta, yang tersisihkan, dan yang teraniaya.
Maaf dan tangisku ada.

Maaf bila kataku tak pernah senada bagimu.
Senyumku tak pernah berkata jujur di situ.
Tanganku, selalu menuliskan detak hatiku.

Biarkan aku menangis di pundakmu, bercerita padamu, memaki cacian hidup ini di depanmu.
Biarkah ada orang di luar sana yang tahu.
Betapa besar ketidakberartianku menghadapinya.

Untukmu,
Ibu, Yang tercinta,
Kakak, Yang tersisihkan,
dan Ayah, yang teraniaya.