Senin, 29 September 2014

Titik, dan Tinta

Tinta akan terus memandangmu wahai titik, dengan sebuah tatapan takjub akan karya ciptaannya yang terindah.
Sebuah titik.

Dan titik, akan selalu menunggumu, tinta. Untuk menuliskan teman barunya yang akan melanjutkan cerita bersamanya.
Sebuah titik.

Tinta, adalah seni. Titik, adalah ciptaannya yang indah.
Titik, sampai kapanpun akan menanti tinta.
Titik, sampai kapanpun adalah tinta.

Sama halnya dengan kondisi lain,
Cinta.

Cinta adalah tinta.
Tinta, adalah bibit dari semua ungkapan.
Kata, cerita, gambar, lukisan, semua.
Tanpa tinta, titik tak tercipta. Tanpa titik, kata tak bercerita. Tanpa cerita, buku hanya kumpulan lembaran tak berarti.
Titik adalah ungkapan cinta tinta pada lembaran kosong dari buku-buku harian yang memandang waktu.
Dan yang kamu tahu,
Cinta, adalah akar ungkapan semua rasa.

Cinta, mewakilkan semua kata, semua rasa takjub, kagum, keindahan.
Cinta, menciptakan apa yang dinamakan kecantikan.

Indah. Kecantikan, adalah manifestasi cinta, ungkapan yang muncul atas dasar cinta, dimana setiap bagian cinta, kecintaan akan berbagai hal dalam satu kanvas bernama manusia, menciptakan rangkaian karya, sebuah nuansa, tanpa adanya bagian yang perlu ditambah, dikurangi, atau diganti. Menciptakan kecantikan itu sendiri.

Karena kecantikan, muncul akan kecintaan.
Kecintaan akan suatu kanvas itu.

Karena tidak titik yang menciptakan tinta,
adalah tinta yang menggambarkan titik.

Karena bukan cantik dasar dari cinta.
Karena cinta, kecantikan itu ada.

Dan sang titik, sampai kapanpun adalah tinta.
Dan cinta, membuat kecantikan itu terasa.
Mereka, hanya butuh sepasang mata yang tepat untuk memandangnya.
Mereka, hanya butuh cinta.

Kamis, 25 September 2014

Biar pertanyaan itu termakan.

Kali ini, biarkan malam, bintang, dan aku.





Kali ini aku merasakan bagaimana rasanya,
bagaimana rasanya….
direnggut.

Saat sedari pagi, dimana raga terkulas lunglai, dimana hati tergeletak lemas, dimana semua berwarna biru,
abu,
dan kelam.

Bagaimana rasanya saat kicaumu direnggut,
bagaimana sakitnya saat lidahmu tercekik,
bagaimana penatnya kepala yang berdenyut,
bagaimana sesaknya saat lehermu dikeringkan,
dan kamu hanya menunggu seseorang membawakan yang kamu butuh

satu gelas air.

Kali ini aku merasakan bagaimana rasanya,
bagaimana rasanya direnggut,
saat yang direnggut adalah yang paling dinanti,
saat dimana hati, otak, dan jari-jemari bersatu padu,
merenggut apa yang dinamakan, menanti.

Kali ini, biarkan malam, bintang, dan aku
yang terus menerus bertanya sampai mentari tiba,
yang akan terus bertanya-tanya,
bagaimana rasanya untuk sakit?
sampai pertanyaan itu termakan.

Karena hanya disini tempatku bebas.
Terima kasih untuk niatnya, aku menghargainya.
hanya saja aku terlalu lelah untuk menunggu
dua jam untuk satu gelas air.

Senin, 22 September 2014

Introversi: Dunia

Aku menghargari waktu seorang diri.
Tidak tahu kenapa, aku hanya suka…
oh tidak,
aku benci keramaian, aku benci kebisingan, aku tidak terlalu menyukai orang-orang bersuara keras itu.
aku benci saat mereka mengusik duniaku.
Mungkin terdengar jahat,
tapi akulah begitu.

Aku ingin bisa mengasingkan duniaku dengan mereka yang bagaikan tuts piano, mereka terlihat banyak, tapi aku tidak dapat membedakan mana yang bersuara nyaring itu. Aku tidak apa berteman dengan mereka, aku sebenarnya tidak membenci mereka, aku tidak apa, aku hanya menghargai waktu seorang diri.

Aku, menghargai waktu seperti ini.

Seperti saat ini, terduduk di sebuah lapangan luas dengan karpet alam bernuansa hijau, saat dimana matahari berada untuk menyelimuti, bukan untuk membakar, dimana yang terdengar hanyalah melodi alam yang selalu indah terdengar. Langkah orang-orang yang berlalu lalang di dekatku seakan terdengar seperti mereka berjalan di seberang pagar sana, mereka dekat, tapi tidak dalam duniaku. Terduduk disini di tempat dimana orang-orang terlihat, dimana mereka terdengar, tapi mereka tak mengusik duniaku.
Sudah lama rasanya tidak seperti ini.

Di sudut sana orang-orang bermain, berlalu lalang, berteriak, tertawa, mereka semua melakukan tanpa mengganggu siapapun. Disini, di tempat dimana kamu bisa melakukan apapun--selama masih lazim, dan takkan ada presensi kamu, atau aku, di dalam keseharian mereka. Hanya seperti daun-daun di batang berwarna coklat itu, yang walaupun bertambah satu, satu itu tidak akan terindahkan, tidak akan ada presensi satu bagian pun darimu yang ada di buku diari mereka. Itu, jika kamu memiliki duniamu sendiri.

Aku bahagia di saat-saat seperti ini, dimana aku memiliki duniaku sendiri.
Disini, terduduk tak berdua di duniaku sendiri, menunggu akhirnya seorang teman datang.
Seorang teman yang akan mengerti nuansaku, melihat wajahku, dan matanya ada dalam lensaku. Seorang teman yang terasa begitu istimewanya, begitu indahnya sampai duniaku terbuka demi melihat bola matanya yang sedang memandang nuansaku. Seseorang, yang kehadirannya adalah duniaku.

Lalu, aku akan ada disini. Pergi dari keramaian yang ada, yang tidak kita sukai, menulis di sebuah dataran berlapiskan selimut kehijauan, beratapkan genting berwarna hijau, bertopang pada tiang berwarna cokelat, bersanding dengan indahnya alam, berkarya, dan menghargai kesempatan yang Kuasa berikan. Aku, akan sibuk tenggelam dalam duniaku sendiri.

Lalu kamu akan datang, berdiri di hadapanku, melihat kedua bola mataku sambil membaca nuansa yang ada. Tersenyum.
"Katanya dunia kamu, aku?"
"Iya, tulisan ini tentang kamu" 
Dan aku, tak akan terganggu dengan apa pun yang kau lakukan.
Sebising apapun itu.

Minggu, 21 September 2014

Bercerita tentang Cinta.

Aku akan berbicara tentang satu kata
satu kata yang akan sering kalian dengar,
dan mungkin sering diucapkan,

Aku akan berbicara tentang cinta.

Tapi…
tidakkah itu terbalik?
Bukankah sebenarnya,
hmmm…..
Cinta lah yang bercerita?

Cinta itu, aku ingin bisa mendefinisikannya…
Cinta itu mempermainkan, ya mempermainkan.
Tapi cinta itu sendiri dipermainkan,
jadi apakah cinta itu sebuah 'permainan'?

Cinta itu bercerita, ya, dia memberikan cerita.
Dan cinta seringkali diceritakan,
Aku, sekarang salah satunya.
Jadi apakah cinta itu sebuah 'cerita'?

Cinta itu kebahagiaan,
semua yang pahit hanyalah karena kamu, dia, aku,
tidak mempunyai yang namanya cinta itu,
jadi sebenarnya apa rasa 'cinta'?

Cinta adalah sebuah kata, yang dibuat oleh manusia dan juga didefinisikan oleh manusia. Sama seperti semua hal-hal yang mungkin ada di lembaran kertas ini, yang ada di tumpukan lembaran buku, yang ada di setiap ucapan selamat pagi oleh seseorang, di setiap perkataan penting-maupun normatif pada keseharian setiap orang, bahkan pada kertas-kertas yang menempel di dinding-dinding tempat berlalu lalang kakimu, kakiku, dan kakinya.
Semua ada pada derajat yang sama.
Semua adalah kata yang dibuat, dan didefinisikan oleh manusia.

Tapi mengapa, kata cinta ini sulit untuk didefinisikan,
diceritakan,
dibahasakan,
dirasakan,
dimanusiakan,
padahal, kata ini yang aku, kamu, mereka rasakan setiap hari.
Kata yang selalu muncul dan ada menyelimuti kita sama halnya dengan bulan, dan matahari
hanya lima huruf, yang membentuk begitu banyak definisi dan cerita-cerita.

Aku, kamu, dia, mereka,
gunakanlah semua kata ganti manusia, orang-orang,
dan aku bisa menjamin, setiap yang kau sebutkan pasti pernah, dan mungkin merasakan cinta itu sendiri.
Pertanyaannya sama,
Apa aku pernah jatuh cinta?
Apa aku sedang jatuh cinta?
Bagaimana tanda bahwa cinta itu benar ada?
Darimana adanya membuktikan cinta itu benar?
Cinta itu apa?
Cinta itu apa?
Cinta itu apa?

Aku yang mencoba mendefinisikan cinta, aku sendiri yang paling tidak mengetahui tentangnya.

Minggu, 14 September 2014

Malam, Ganesha.

Aku tertulis ini dalam yang kau sebut lamunan
lamunan malam, tanpa mengapa dan tanpa apa,
cahaya pun tertelan ia.
Aku semata-mata menyukai saat ini.

Aku semata-mata menyukai saat ini.
Dimana cahaya kami bersembunyi
dan Dunia terasa makin dekat satu sama lain
dimana batasan horison menghilang, dimana batasan jarak antar kami raib, dimana kami mendengar, tanpa melihat.
Aku berada di sebelah semua rangkulan kata mereka.
Ini, adalah sebuah kebahagiaan semata.

Ini adalah sebuah kebahagiaan semata.
Dimana tanganku menari riang dan mataku terpejam melihat.
Di sebuah tempat dimana lampu raib, dicuri oleh sang waktu untuk berteman mengiringi detik.
Seakan waktu kami berhenti, terpaku menikmati malam ini.

Cahaya bohlam tersipu malu bersanding indah warna hitam.
warna hitam, yang memisahkan satu insan dan lainnya.
mereka, yang berjalan untuk berharap menemukan.
Mereka adalah kehilangan, dan merasa saling menemukan
Disini,
hanya melihatnya di tempat yang benar indahnya.

Aku tak pernah senyaman ini dengan disini.
Tempat kaki menuju, tempat hati membisu.
Disini, di bawah karya Tuhan yang berdaun, yang melenyapkan segala cahaya yang simpang siur berharap lalu.
Ganesha, engkau berwarna seraya hilangnya cahaya.