Sabtu, 26 Juli 2014

Introversi

Aku……..
Aku ingin, hmmmm…..
Ah.
Aku ingin….. sekali bertemu dengan pasanganku kelak.

Aku ingin menemuinya di sebuah toko buku, aku berdiri di depan sebuah buku usang dan kau ada disana sedang membaca sinopsis sebuah buku aneh bersampul putih. Aku suka sekali warna putih, terkadang biru juga hijau tosca. Kamu mengambil kacamatamu dan menaruhnya di hadapan indah matamu yang memiliki warna kecoklatan, otakmu membaca seraya mulutmu merafalkan kata-kata di dalam buku itu, sampai akhirnya kamu mencapai ujung kalimatnya, matamu menghadap padaku yang terus memandangimu. Aku akan menghampirimu seraya bermimpi akan terpukau beberapa kali lagi olehmu.

Aku ingin menemuinya di sebuah toko barang bekas, aku membungkuk seraya mencari-cari sebongkah kayu balok juga vas kaca kecil dan kau ada disana sedang memandangi kotak musik bermelodi lagu selamat ulang tahun. Aku terus memperhatikanmu yang mengulang-ulang musik yang sama di dalam kotak itu. Buka. Tutup. Tersenyum. Buka kembali. Tutup. Lalu kau pergi menuju pintu keluar. Aku lalu mengatakan tunggu kepada nona yang sedang melayani barang-barang yang kubeli. Setelah menyelesaikan urusanku, aku menghampirimu. Kamu menoleh saat mendengar melodi yang sedari tadi kau dengar, "Untuk temanmu, ataukah kamu yang berulang tahun?" seraya menjulurkan kotak musik itu ke hadapanmu.

Aku ingin menemuinya di sebuah toko musik, aku berdiri di depan sebuah counter bertuliskan 'musik lama' dan kamu ada di seberang sana terlihat kebingungan memilih lagu. Aku mengambil barangku lalu berjalan menghampirimu, berdiri di sampingmu seraya canggung melihat deretan kaset yang bisu, kamu terlihat tidak aneh pada kehadiranku. "Kalau aku lebih suka yang ini" seraya mengambil sebuah kaset dari grup band terkenal sepanjang masa dari tahun 1940an. Kamu yang kebingungan melihat tingkahku  hanya menatapku dan kaset itu secara bergantian, menaruh kaset di tangan kirimu ke tempatnya kembali, lalu tersenyum.

Aku ingin menemuinya di sebuah kedai kopi yang sepi, aku melewati pintu seraya menyapa penjaga tempat tersebut dan kamu ada di pojok sana duduk sambil menyeruput coklat manis yang kau pesan. Aku memesan sebuah Darjeeling tea untuk menenangkan pikiranku dari keramaian kota yang membuat kita jenuh, lalu menghampiri tempat duduk untuk 4 orang yang sedang kau duduki. Aku tahu kenapa kau selalu memilih tempat yang sama setiap kali ke kedai itu, sebuah tempat untuk 4 orang untuk diduduki hanya olehmu. Seraya aku menjatuhkan tubuhku di seberang meja di hadapanmu, kamu pun tersenyum. "Aku sudah menunggu lama lho".

Aku ingin jatuh cinta padamu di berbagai tempat yang ada,
Aku ingin menjadi temanmu yang lain selain buku.
Aku ingin menjadi orang pertama atau bahkan satu-satunya untuk memberikanmu hadiah saat kau berulang tahun.
Aku ingin masuk ke dalam duniamu agar aku bisa masuk ke lingkunganmu, atau bahkan hatimu.
Aku ingin menjadi orang yang ingin kau temui di antara keramaian orang-orang yang seringkali kau hindari.
Aku ingin jatuh cinta kepada seorang manusia yang berkepribadian serupa denganku.

Lalu aku hanya akan ada disini, di toko buku, di toko barang bekas, di toko musik, di kedai kopi yang sepi, atau mungkin hanya di kamarku sedang menulis. Aku akan menunggumu seorang diri, mengabaikan orang lain yang berlalu lalang, berada di sepi dalam keramaian, sekedar karena malas bersosialisasi. Aku akan menutup pintuku dan hanya membuka untukmu.

Lalu kamu akan datang menghampiriku yang sedang sendiri.
"Introvert banget sih"
"Lho, kamu sendiri apa?"

Kamis, 17 Juli 2014

Kami adalah Pencipta.

Kami adalah sekelompok orang yang berkegiatan mencipta.
Aku adalah orang yang lahir di sekelompok orang itu, kami setiap hari hanyalah mencipta.
Mencipta apa yang kami cintai, atau yang dipaksakan pada kami.
Secara harfiah dari nama kelompok ini, kami adalah pencipta.
Jangan samakan kami dengan Tuhan, ciptaan kami tidak sempurna.
Tapi ciptaan kami memiliki sesuatu yang lebih berharga dari kesempurnaan.
Yaitu kebahagiaan dan kebanggaan.

Kami telah membuat seorang pelancong mancanegara menikmati indahnya pesona Indonesia dalam jarak kurang dari 400meter. Menjemputnya dengan sebuah karya dewa budaya bali, menjelajahi sekian banyak cita rasa Indonesia, memperlihatkannya Indonesia, semua hanya dalam 400 meter dan kurang dari 12 jam. Kami mampu menciptakan hal itu.
Kami telah membuat seorang warga negara Indonesia menikmati cerita kuno Mahabrata dengan menjadikan ia peran dari alurnya. Diantarkan oleh sebuah kapal karam melalui hutan lebat yang telah ditunggu oleh sebuah burung hantu, untuk akhirnya diperlihatkan sebuah perang besar antara tokoh utama cerita tersebut, Garuda wisnu Kencana dan Kadru, direalisasikan dalam sebuah jalan sepanjang 300meter di depan sekolah ternama di Bandung.
Kami, juga mampu menciptakan hal itu.

Kami adalah pencipta.
Yang terbaik yang kami akui.
Namun sekarang kami tidak mampu menciptakan sebuah karya yang biasanya kami bentuk.
Objek berupa kupu-kupu yang melebarkan sayapnya.
Karya ini akan kami cipta, tapi rasanya akan berbeda.
Karena dahulu kami mencipta dibawah tekanan, kami mencipta dengan kenangan, kami mencipta dengan waktu yang mengabadikan.
Sekarang bahkan waktu memisahkan kami untuk segera mencicipi kenikmatan hidup lainnya.
Waktu tidak membiarkan kami mencipta bersama lagi, mengulang masa itu lagi, terlalu banyak kondisi yang harus dipenuhi untuk mencapai masa itu lagi, dan kami tidak bisa menjanjikan waktu akan itu.

Pada akhirnya seekor ulat yang bernaung di bawah pohon yang sama akan berkembang menjadi seekor kupu-kupu untuk terbang meninggalkan naungannya melihat dunia luar yang lebih luas.
Karena sama dengan manusia, kami terikat akan waktu.

Rabu, 16 Juli 2014

Kamis, 10 Juli 2014

Terkadang.

Kadang kali hidup manusia itu susah ditebak. Tanpa malaikat pun kita tahu kita tak bisa menebak kehidupan seseorang. Tak perlu terlalu jauh mengambil contoh, hidupmu sendiri, hidupku sendiri bahkan tidak bisa ditebak. Bahkan oleh dirimu sendiri.

Manusia terkadang memiliki apa yang diinginkan dan apa yang dilakukan. Manusia adalah makhluk aneh yang selalu mengulang sesuatu. Kehidupan manusia sendiri adalah pengulangan kejadian, dimana tertidur, terbangun, jatuh cinta dan menderita  adalah kehidupan sehari-harinya. Tak bisa dipungkiri bahwa manusia akan jatuh cinta untuk melakukan sesuatu atau menderita karena sesuatu, seperti belajar menjadi sesuatu yang terpola, menjadi sesuatu yang berdasar kukuh dengan sebuah abjad a,b,c,d di dalam kamus kehidupannya, dengan menjadikan segala aktifitas nya ada dalam sebuah catatan buku dengan teraan waktu yang mengikat harinya, dengan menjadi orang yang bukan dirinya, semudah itu manusia menderita.

Manusia menderita bukan karena ia menginginkannya, tetapi buah dari apa yang dilakukannya.

Terkadang manusia harus menerima konsekuensi dari apa yang telah dibuatnya, bukan yang diinginkannya. Terkadang sebuah kegiatan menjadi kewajiban atau sebuah kecintaan, karena selain dasar dari dua itulah sebuah kata derita muncul. Terkadang menderita adalah jawaban dari sebuah tindakan yang ingin dilakukan, karena menolaknya adalah derita yang lebih lagi.Terkadang manusia melupakan lingkungannya seraya berkata 'Tidak' terhadap kata-kata kebenaran dari mulut lain. Terkadang manusia sendiri mengalami kebodohan, untuk melakukan apa yang ia tahu akan menyakitinya.

Terkadang manusia sendiri mengalami kebodohan untuk melakukan apa yang ia tahu akan menyakitinya.
Terkadang manusia tetap melakukannya karena alasan lain selain menderita.

Minggu, 06 Juli 2014

Diari 2, Kepulangan.

"Lagi apa?"
"Lagi pada kangen rumah"
Beberapa hari lalu, percakapan yang tidak sampai satu menit, di depan tempat yang membuat semua perasaan ini menjadi nyata. 
Tidak terlalu aneh kalimat yang terlontar, tidaklah aneh untuk dihiasi dengan air mata, percakapan dengan kata-kata penutup yang aneh namun tahu arti. "Aku ingin pulang"

Mereka adalah temanku, hanya segelintir orang yang waktu pertemukan di salah satu tempat dan bersama-sama mengikuti jalan ganesha. Mereka bisa disebut sebagai 'perantau', meninggalkan rumah tinggal mereka yang jauh disana, ayah dan ibundanya, dan berada disini, di kota yang aku cinta. Jarak mereka tempuh tapi yang mereka dapat hanya kenangan akan tempat tinggalnya.Terkadang aku kasihan kepada mereka. Kasihan kepada seorang nona yang melintas pulau, kepada seorang lelaki yang mengemudi 150km untuk mencapai tempat ini, kepada mereka yang menginginkan pulang.
Aku terkadang kasihan kepada mereka yang menitikkan air mata, pada mereka yang menginginkan kehangatan rumah.
Tapi berbeda dengan mereka, aku tidak ingin pulang.

Malam itu bulan seakan menemani tiap-tiap insan yang punya cerita. Mereka, dia, bahkan aku. Kami bercerita akan orang-orang malam, akan sesuatu yang tengah kami jalani, akan apa yang sebenarnya kami lakukan. Apa yang mempertahankan orang-orang ini untuk tetap ada di tempat ini sementara keinginan mereka begitu menggebu-gebu untuk menemui kegelisahan mereka? Apa yang mereka tunggu, yang mereka nanti hingga bisa merelakan kegelisahan mereka untuk tetap ada di hati mereka? Perantau ini yang merupakan bagianku, hanya takut untuk dilupakan. Mereka takut hilangnya tempat mereka pulang, takut akan tidak adanya yang menunggu, takut akan ketidaktahuan mereka akan hati keluarga mereka. Terlalu takut untuk menerima kegelisahan yang mereka buat.

Mereka semua ingin pulang, takut untuk dilupakan. Dan aku tak ingin pulang, terkadang ingin melupakan.

Terkadang untuk meninggalkan sesuatu yang kita sayang, justru kita harus berlaku sebaliknya. Agar pada saat kita hilang nanti, kita tidak terlalu merasa kehilangan. Menghapus jejak atau memori bisa menjadi salah satu opsi, bagian terpenting dari manusia yang tidak bisa benar-benar hilang. Terkadang manusia membuat kenangan, dan manusia sendiri ingin melupakan, tapi satu hal yang pasti, tidak ada manusia yang ingin dilupakan. Baik dalam hidup-dan mati. Dan kita yang berada, terkadang tak bisa menghalau kegelisahan ini.
Terkadang kita pura-pura menjadi tua untuk melewatinya, atau menjadi anak-anak untuk menghindarinya.

Malam itu adalah malam yang penuh dengan cerita.
Kehilangan, kegelisahan, kepercayaan, semua dihiasi oleh bulan.
Malam itu, bulan menyaksikan beberapa insan melepaskan kegelisahannya,
yang takkan hilang hanya untuk berbagi beban.
Terkadang aku iri kepada mereka, para perantau itu.
Terkadang aku menaruh iri kepada mereka yang berkata ingin pulang.
Mereka yang ingin pulang ke rumah.

Karena yang memisahkan mereka dengannya ada dalam satuan kilometer, dan yang memisahkan aku ada dalam satuan detik. Keberatan hati hanya untuk menggelisahkan ada dimana rumahku sekarang. Karena mungkin suatu aku juga ingin pulang. Aku juga tidak ingin dilupakan. Tapi pada saat itu, aku tidak tahu dimana rumahku, sama dengan kegelisahan para perantau itu.

Malam itu malam yang penuh cerita.
Tidak aneh jika ada air mata yang menetes di antara waktunya.

Jumat, 04 Juli 2014

Aku pulang.

Mengingatkan akan keadaan ini.

Bandung malam ini sungguh dingin.
Dinginnya berbeda, entah tubuh ini yang sudah tidak terbiasa,
atau kota ini yang sudah tak terbiasa dengan kehadiran aku yang tiba-tiba.
tapi kota ini malam ini sungguh menyayat dengan rasa beku yang diantarkan angin.
Seakan menyambut kembali aku dengan mengingatkan bagaimana kota yang aku cintai ini,
Seakan iri akan kepergianku berlari meninggalkan kota ini dengan takutnya,
Seakan mengatakan selamat datang padaku.

Maafkan aku yang pengecut, atas larinya kesalahanku pada tempat lain.
Terima kasih, atas bulan yang menerangi jalan pulang bagiku di kota ini.

Karena maaf, dan terima kasih adalah kata yang paling menyakitkan untuk menghiasi satu kalimat.

Halo kota Bandung, aku pulang.
Kamu belum berubah meski aku ingin berubah.