Minggu, 06 Juli 2014

Diari 2, Kepulangan.

"Lagi apa?"
"Lagi pada kangen rumah"
Beberapa hari lalu, percakapan yang tidak sampai satu menit, di depan tempat yang membuat semua perasaan ini menjadi nyata. 
Tidak terlalu aneh kalimat yang terlontar, tidaklah aneh untuk dihiasi dengan air mata, percakapan dengan kata-kata penutup yang aneh namun tahu arti. "Aku ingin pulang"

Mereka adalah temanku, hanya segelintir orang yang waktu pertemukan di salah satu tempat dan bersama-sama mengikuti jalan ganesha. Mereka bisa disebut sebagai 'perantau', meninggalkan rumah tinggal mereka yang jauh disana, ayah dan ibundanya, dan berada disini, di kota yang aku cinta. Jarak mereka tempuh tapi yang mereka dapat hanya kenangan akan tempat tinggalnya.Terkadang aku kasihan kepada mereka. Kasihan kepada seorang nona yang melintas pulau, kepada seorang lelaki yang mengemudi 150km untuk mencapai tempat ini, kepada mereka yang menginginkan pulang.
Aku terkadang kasihan kepada mereka yang menitikkan air mata, pada mereka yang menginginkan kehangatan rumah.
Tapi berbeda dengan mereka, aku tidak ingin pulang.

Malam itu bulan seakan menemani tiap-tiap insan yang punya cerita. Mereka, dia, bahkan aku. Kami bercerita akan orang-orang malam, akan sesuatu yang tengah kami jalani, akan apa yang sebenarnya kami lakukan. Apa yang mempertahankan orang-orang ini untuk tetap ada di tempat ini sementara keinginan mereka begitu menggebu-gebu untuk menemui kegelisahan mereka? Apa yang mereka tunggu, yang mereka nanti hingga bisa merelakan kegelisahan mereka untuk tetap ada di hati mereka? Perantau ini yang merupakan bagianku, hanya takut untuk dilupakan. Mereka takut hilangnya tempat mereka pulang, takut akan tidak adanya yang menunggu, takut akan ketidaktahuan mereka akan hati keluarga mereka. Terlalu takut untuk menerima kegelisahan yang mereka buat.

Mereka semua ingin pulang, takut untuk dilupakan. Dan aku tak ingin pulang, terkadang ingin melupakan.

Terkadang untuk meninggalkan sesuatu yang kita sayang, justru kita harus berlaku sebaliknya. Agar pada saat kita hilang nanti, kita tidak terlalu merasa kehilangan. Menghapus jejak atau memori bisa menjadi salah satu opsi, bagian terpenting dari manusia yang tidak bisa benar-benar hilang. Terkadang manusia membuat kenangan, dan manusia sendiri ingin melupakan, tapi satu hal yang pasti, tidak ada manusia yang ingin dilupakan. Baik dalam hidup-dan mati. Dan kita yang berada, terkadang tak bisa menghalau kegelisahan ini.
Terkadang kita pura-pura menjadi tua untuk melewatinya, atau menjadi anak-anak untuk menghindarinya.

Malam itu adalah malam yang penuh dengan cerita.
Kehilangan, kegelisahan, kepercayaan, semua dihiasi oleh bulan.
Malam itu, bulan menyaksikan beberapa insan melepaskan kegelisahannya,
yang takkan hilang hanya untuk berbagi beban.
Terkadang aku iri kepada mereka, para perantau itu.
Terkadang aku menaruh iri kepada mereka yang berkata ingin pulang.
Mereka yang ingin pulang ke rumah.

Karena yang memisahkan mereka dengannya ada dalam satuan kilometer, dan yang memisahkan aku ada dalam satuan detik. Keberatan hati hanya untuk menggelisahkan ada dimana rumahku sekarang. Karena mungkin suatu aku juga ingin pulang. Aku juga tidak ingin dilupakan. Tapi pada saat itu, aku tidak tahu dimana rumahku, sama dengan kegelisahan para perantau itu.

Malam itu malam yang penuh cerita.
Tidak aneh jika ada air mata yang menetes di antara waktunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar