Sabtu, 12 Desember 2015

Dan aku apa?

"And I'm just a bird that stays, when the flocks grow tired and migrates away"
Dan tersebut adalah kata-kata yang terlintas seraya lampu bulan menerangi jalan bagiku untuk berangkat ke tempat peristirahatan setelah berbincang dengan separuh teman yang ada.

Ini aku, setidaknya yang terlintas kali ini.
Aku memiliki tempat, sebuah tempat yang nyaman setidaknya sampai saat ini, bernama rumah. Rumah yang tidak besar, bahkan tidak cukup untuk menampung kami semua pada satu waktu. ya, kami pendatang dan penghuninya. Disana aku nyaman, mereka ada, aku di dalamnya, bermain bersama mengitari pohon itu-itu saja bernama dunia, melayangkan imaji ke angkasa, melantunkan komentar terhadap angka, dan segala...

Ah, betapa menyenangkan saat kuingat lagi...

Kemarin, aku dapat pergi ke tempat peristirahatanku sangat-sangat terlambat. Seringkali aku terpaksa untuk tidak mampir kesana, seringkali bukan terpaksa karenanya, seringkali semata-mata karena mereka ada dan semuanya terasa nyata.
Setidaknya, nyata
nyata saat waktu itu ada.

Dan aku, hanya seekor burung yang diam, saat yang lain mulai bosan dan pergi mencari keindahan baru.

Hari ini, pohonku sama, rumahku sama, hanya mereka yang ada, berganti nyatanya. Aku, selalu disini, berganti teman bermain, berganti imaji, dan mulai lelah berkomentar. Hari ini, semuanya terasa jelas, bahwa waktu terus berjalan, dan terkadang ada yang selalu tertinggal. Hari ini, aku berangkat ke tempat peristirahatan dengan tanya, apalagi yang kulakukan.

Aku, tertinggal.
Sudah banyak teman yang aku temui di rumah ini, pohon ini. mereka yang datang dan aku yang senang, mereka yang membuat pohon bersama, dan mereka yang bosan karenanya, mereka yang tidak ada, dan sekarang pergi bersama yang selalu ada. Mereka yang tahu tempatnya, dan aku, yang termangu karenanya.

Aku selalu diam di pohon ini, berharap dapat bermain, berimaji, bertingkah yang sama seperti dulu, setidaknya satu dua tahun yang lalu. Tapi ternyata aku bertanya, apakah aku menyenangkan untuk berteman? Mereka yang dulu ada kini bermain tanpa acuh aku, pergi terbang ke tempat lain seakan ajakan padaku takkan perlu. Mereka yang dulu selalu berimaji sama, sekarang memiliki imaji tentang cinta dengan kekasihnya, beserta waktu yang dulu selalu kami sempatkan agar berbagi bersama, Mereka yang dulu dikasihi, mencinta seakan membagi emosi dengan orang lain pun tak apa. Mereka yang dulu berbagi, sekarang tak lagi menyempatkan diri berbagi aku. Mereka yang dulu bagiku nyata, sekarang hanya berupa masa-masa.


Aku disini sudah lelah. Harapan seakan tak ada pada pohon ini. Pohon yang rantingnya seakan layu satu demi satu, membiarkan penghuninya berkumpul di satu ranting atau pergi menjauh. Aku yang tertinggal di bawah sini, seakan tak lagi dapat berharap, dan hanya dapat mengenang.

Mungkin aku bukanlah burung seperti kalian.
Burung yang terbang sebebas fana, saat lelah akan satu tempat, dan bosan dengan langitnya.
Mungkin aku bukanlah apa yang selalu seperti kalian, yang selalu dapat bergerak dengan bebasnya, menemukan tempat baru dan menggantinya dengan yang lama, mendapatkan kawanan baru dan tak ada waktu untuk berbagi dengan yang lama, mendapatkan topik baru seakan butuh waktu lama untuk menyelaraskan topik dengan teman lama, saat kau mendapat yang baru, dan aku yang terdiam termangu. Mungkin, aku hanya apa yang selalu menunggu, seakan pasti itu nyata adanya.

Setidaknya aku berterima kasih bahwa kalian pernah berbagi langit denganku, dan aku bukan burung seperti kalian.









Terima kasih, sepertinya pada dasarnya aku hanyalah seorang anjing.

Alvin, Anjing.

Teruntuk masa-masa di ganesha.

Rabu, 11 November 2015

Banteng dan Rusa.

Aaah kota ini...
Kota-ku, yang harusnya indah.


Ya, seharusnya.


Mataku tak sungkan menatap bagian indah ini.
Di antara empat nama, 
utara, selatan, timur, dan barat.
Di barat daya, ada orang yang sepertinya memiliki keterbelakangan mental sedang menari-nari kegirangan diatas kenyataan bahwa dia baru saja terbangun dari tidur lelapnya karena suara dentuman keras.
Di Tenggara, ada tiga orang berlari-lari--entah darimana untuk melihat hal yang tidak ada dimanapun mereka berada sebelumnya, sebelum mereka berlari.
Di Timurnya, tidak ada kumpulan kuda bermesin yang biasanya terparkir dengan bangganya, yang seakan membusungkan dada bahwa namanya ada pada sebuah lembaran komunitas
Di Tengahnya, terdapat banyak puing-puing besi yang berserakan, entah untuk apa dia, dan entah harus apa dia.
Di atasnya, terdapat sebuah pohon bercahaya yang sayangnya tidak mau lagi memancarkan indahnya.
Di Baratnya, tidak ada lagi kendaraan zebra, dimana warna abu dan kuningnya terkadang membuat khawatir, dan tanpanya pun tetap membuat khawatir.

Setidaknya, sekhawatir aku saat sedang menatapnya.
Setidaknya, di sebelahku, terdapat sepasang mata pemuda, yang menatapku kagum. pada dirinya sendiri.
Dan aku, yang kagum pada diriku sendiri.

atas bagaimana kami bisa tetap hidup.



Ya, kami adalah saksi nyata dari hal yang seringkali diberitakan di selebaran pohon yang selalu diantarkan pada rumah kalian di pagi hari. Mungkin nanti pagi aku akan melihatnya didalamnya, atau mungkin pada layar temanku, atau mungkin tidak akan kulihat lagi sampai kapanpun.
Sebuah rusa, saling bertemu muka dengan sebuah banteng, dimana diam pun jadi kenyamanan ternyata, dimana berjalan akhirnya terasa menyakitkan, dimana keduanya saling menolak, atau saling bertubrukan.
Tidak, kali ini si bantenglah yang kalah. setelah berputar penuh sebanyak lima kali dan hampir menabrak dua orang yang kali ini sedang hidup, akhirnya mematikan cahaya pohon dengan ekor yang menandakan kekalahannya.

Sayangnya teman, kejadian ini terjadi di kota-ku
Sayangnya, kejadian ini akan lebih indah jika pada kenyataannya, yang bertengkar bukanlah sebuah mobil hatchbag dan mobil truk dua ruas.
Sedihnya, yang terdengar kali ini hanya teriakan marah, dan isakan tangis.

--

Pikiranku terngiang-ngiang atas bagaimana bisa kejadian-kejadian langka ini ternyata ada untuk hiburan mataku, atas bagaimana hiburan ini menjadi sebuah horor, dan akhirnya membangkitkan bulu kuduk aku, yang seharusnya menikmati kotaku. Angin kali ini bukan lagi musuhku, 
tapi ternyata, musuhku adalah aku yang bukan aku,
manusia.

Jalanku pulang tidak lagi diantarkan oleh cahaya rembulan,
tidak lagi dengan kata-kata indah yang selalu terlewat di depan retina mata,
tidak lagi dengan senyuman adakalanya.
sebagaimana aku mengingatnya

Kotaku, kini berbahaya, ya.
Kotaku, kini tertutup dengan kabut.


Aaaaaaaahhh, kota ini...
Kota milikku, yang seharusnya indah.
Kali ini kamu dihiasi kabut sayang,


Sayangnya kamu tidak sejelas dalam kenanganku di atas tanahmu.

Jumat, 04 September 2015

Tirani.

Aku mencintamu dengan cara tirani,

Aku melakukannya dengan cara yang dilakukan lebah pada putik sarinya.
Aku akan memberikanmu bahagiaku, dan kamu akan memberikanku sesuatu sampai akhir kuberikan padamu.

Aku mencintamu setulus rindu,
dengan caranya yang tak terbahasakan baik bagiku maupun malaikatku.
aku mencintamu setulus itu.

Tapi aku mencintamu dengan cara tirani.

Aku akan membuatmu bahagia, sehingga kau pun buatku bahagia hingga akhir masaku.
Aku mencintamu dengan memaksa,
Aku mencintamu dengan tirani.

Aku mencintaimu dengan tirani.


Tapi sayangku,
manisnya adalah aku mencintaimu.

Selasa, 16 Juni 2015

Menulis.

Dini hari, pukul 2.

Entah mengapa lamunan malam kali ini berubah menjadi kata
jadi imaji yang mengalun lembut di hadapan dahi yang tertutup rambut yang memberontak ini.
kata-kata yang menjadi sebuah frasa, jawaban berupa tanggapan ataupun sanggahan akan pertanyaan yang terlontar sebelumnya.
Apa, Kenapa, Bagaimana, Siapa, dan lainnya.
Semua berawal dari pertanyaan bercanda,
"Mengapa kau tak menulis?"

Tempat ini adalah buku-ku, buku yang dengannya kubagi denganmu.
kata-kata yang diperindah agar kamu tersanjung, dengan harapan keluhku tersampai dan berusaha mengetuk simpati dari hatimu.
Sudah lama dia menjadi seperti itu,
dan sudah terlalu lama pula kubiarkan menunggu.
Kenapa aku tak pernah menulis lagi?

Menulis.
yang dilakukan khalayak saat ingin mencapai hal,
untuk mengingat, untuk menjawab, untuk membuktikan,
bagiku yang mana?

……..Ah, dulu bagiku hanya untuk bercerita.

Lalu mengapa aku berhenti menulis?





…. Hanya di saat seperti ini kita mengandalkan kata 'tak tahu'.

Minggu, 19 April 2015

Sendiri.

Seringkali sendiri membuatku merasa nyaman.
Merasa bagaikan tidak ada gangguan
memiliki udara yang mengalir hanya untukku
memiliki waktu yang berputar demiku
memiliki aku, dan semua khayalanku.
Juga, ketenanganku.

Tapi ada kalanya tidak begitu.
Saat dimana sesuatu membuatmu terganggu,
saat sesuatu membuatmu gelisah
saat dimana keduamu tak tahan akan sendiri,
saat dimana kata pun tak sampai pada telinga,
saat dimana sendiri itu mengganggu

Terkadang, sendirian tidak begitu mengenakkan.

Karena hanya ada tulisan sebagai tempat bercerita.

Minggu, 29 Maret 2015

Manusia seni.

Aku adalah manusia seni.
Aku sendiri yang menyematkan titel tersebut kepada diriku.
Mengapa tidak? aku benar-benar menyukai seni.
Apalagi sifatku sendiri bagaikan sifat benda seni.

Aku gila akan apresiasi.
Aku selalu ingin diperhatikan.
Terlebih lagi, aku tak bisa terikat.
Aku bebas.

Setidaknya sebelum aku mencinta.

Senin, 16 Maret 2015

Pengumuman?

Halo pembaca,

Mohon maaf karena akhir-akhir ini saya jarang post tulisan, curhatan, atau apapun disini. mungkin memang karena sedang sibuk mencari cara agar tidak terlihat sibuk di kesibukan yang padat ini.
Tapi doakan saja agar kuliah penulis lancar ya!

Kalian masih bisa membaca post-post saya yang lama kok :)

Regards,

Rabu, 04 Maret 2015

Ya.

Terkadang hari-harinya memburuk
Terkadang rona mukamu memudar
Terkadang kamu ingin berteriak
Terkadang cerita pun tak mampu.

Kamu hanya butuh suatu ajakan,

Atau sebuah pelukan hangat dari orang berarti

dan kata-kata yang membuatmu pergi.

"Tolong jangan menangis ya?"
"Ya."

Minggu, 01 Maret 2015

Terlantar.

Pagi ini aku menemukan seekor kucing terlantar
di dalam kresek hitam
di dalam pembuangan air
di depan rumah.

Sendiri

Tanpa ibu yang melindungi

Teman sebaya

Atau tangan manusia yang menghangatkan

Bahkan sebelum matanya terbuka, ia sudah merasakan kejamnya dunia.
Walaupun sekarang aku memungutnya, bukankah ia benci padaku?

Karena aku juga manusia, spesies yang membuatnya terpisah dari hangatnya ibu.

Semoga tidurnya, dan dunianya, indah.

Jumat, 20 Februari 2015

Cermin.

Hujan turun perlahan
Bumi menjerit kesakitan.
Tapi turunnya berbekas lega
memberi wewangian pada dunia

"halo teman, duniaku kini kebasahan"


Aku bukanlah ada,
duniaku, membuat aku ada.
duniamu, mungkin tak ada aku.
itu duniamu, duniaku tentu beda.

aku beranggapan kamu ada.
kamu diduniaku, aku ada.
kamu boleh ada, tolong pintaku.
jadi, kita berpisah antara apa?

kamu ada, karena mata yang ada.
tetapi, hati dibuat untuk merasa.
kamu tahu, gelisahmu membuat hal yang sama?
duniaku, duniamu, apa bedanya?
kita melihat hal yang sama.

kita melihat air hujan, di mata mereka.

Aku, berada dimana-mana.
mata mereka, duniaku yang sama.
kalau aku adalah kamu,
maka kita merasa yang sama.

tolong, jangan menangis.
karena begitu, tetesan itu terasa hangat.
karena itu, kita nyata.
walau kita tak bersuara.

kalaupun kamu dan aku tak ada.
melihatmu pun aku tahu.
hujan di matamu nyata.

"halo teman di balik kaca, duniaku pula kebasahan"

Senin, 12 Januari 2015

Antrian.

Hari ini tepat pada saat pergantian tanggal, banyak orang ngantri


Ngantri ngisi jadwal kuliah


Sedangkan gue, cuman berharap kalau gue lagi ngantri nonton konser The Beatles.


Minggu, 04 Januari 2015

Menunggu.

Aku termangu di dalam sebuah ruangan, menunggu sayap untuk terband dari sini menuju dunia asing yang baru.
Temanku hanya kamu, sebuah pena, buku, dan orang asing berparas asing juga di sebelahku.
Entah, temanku bukan.
Yang pasti kami duduk disini. Dalam ruang tunggu.
Dibuat untuk melakukan satu aktivitas yang melelahkan,
Menunggu.

Mataku bengkak akibat tak henti-hentinya terbuka untuk ditutup. Sebaliknya berlaku.
Badanku terasa dingin di hangatnya pemanas ruangan.
Mungkin perasaanku.

Aku duduk di barisan depan yang menghadap beningnya kaca yang membatasi kami, dan apa yang kami tunggu.
Terkadang beningnya itu tertutupi orang yang berlalu lalang membawa tas, trolley, berikut anak mereka.
Hanya satu hal yang menarik perhatianku.
Ketika anak kecil itu berlari-lari seperti di surga.
Menemukan hal menyenangkan saat menunggu.

Aku tenang dengan sendiri.
Bisa kau bayangkan, sebuah ruangan yang penuh, tak teratur, bahkan aku tak tahu bagaimana menggambarkannya.
Kosong, penuh, kaku, lentur, ramai.
Tapi milikku sepi.
Rasanya berbeda, tapi aktivitas kami sama.
Kami menunggu, sebuah sayap untuk pergi.

Sekali tiap jeda, beberapa orang berdiri.
Tujuan yang berbeda, sayap yang sama.
Tapi mereka yang berdiri tahu,
waktu mereka menunggu sudah habis.
Ya, mereka selesai melakukan aktivitas paling buruk dalam harinya.

Menunggu,
bagaimana tidak, menunggu selalu menyedihkan.
Diam.
Sedihnya lagi, orang membuat tempat untuk itu.

Tapi mungkin berbeda dengan orang itu.


Orang itu hanya terlihat di sudut mataku.
Menatap pada bukunya, sementara tangannya berputar mengelilingi penanya.
Teman duduknya hanya kesunian, dimana ada empat orang berbeda ras terduduk bergantian di sudut matanya.
Ia serasa tenang di dalam keramaian.

Temannya kertas kosong di atas pangkuannya.
Sebuah jendela keramaiannya sendiri yang terdiri dari kerumunan kata-kata

Ia menatapku saat aku menatapnya. Melakukan hal yang sama setiap detiknya.
Berdiri saat aku berdiri.

Dan lalu kami terhanyut dalam ketenangan di ruang tunggu.
Dan kami berlari menuju sayap yang sudah datang.
Walau dunia kami hanya dibatasi oleh cermin.