Kamis, 08 Februari 2018

Sajadah.

Mungkin, yang salah bukan jalan yang selalu tertutup.
Tapi sajadah yang tak pernah terbuka.

Minggu, 10 September 2017

Epilog; Prolog;

Pujangga malam menutup hari ini dengan puisi, puisi tentang bagaimana engkau meninggalkan tanah ini. "Sudah malam bukan?" tanyaku pada malam.
"Ya, berganti sudah hari ini"
Dan malam pun terlelap,
meninggalkan aku yang gundah, enggan menatap matahari esok hari.


Sekelebatnya malam dan dinginnya tanpa surya mengetuk hati ini untuk berbicara, hati seekor anjing yang kaku, yang beku hatinya karena keyakinannya berlabuh pada cintanya.
tok.
tok.
tok.
dan pertanyaan itu muncul juga.

Pertanyaan yang muncul saat semua sudah tidak lagi ada;
Pertanyaan yang baru saja terlintas, saat takut semuanya telah tiada;
Sudah?

Sudah berapa lama kamu ada disini? menantikan saatnya pergi dari sini?
Sudah berapa banyak cerita yang kamu alami, yang kamu bagikan dan dengan arogannya menjadikan ragamu sebagai tokoh utamanya?
Sudah berapa lama kau berada disini, membaca kisah-kisah pilu dan merasakan apa yang seharusnya dirasakan oleh dirimu yang berbahagia?
Sudah berapa lama diirimu menantikan hari ini? hari dimana kamu dapat dengan megahnya menatap temanmu erat dengan senyuman yang mengalahkan hangatnya kepulan asap arang yang dibakar saat kita berada di satu dataran yang sama, mengenakan dinginnya angin yang sama, dan sangat menunggu-nunggu datangnya mentari agar berakhirlah sudah semua ini.

Sudah berapa lama, kamu terbuai;
Dengan kata-kata, bahwa...

... Hari ini milikmu?




Hari kemarin milikmu kawan, akupun setuju. Walau senyumku sepenuhnya ragu.
Kemarinnya pun, semuanya tentangmu kawan, tidak ada yang membantah itu.
Aku pun melewatinya, dengan tangisan merdu.
Aku pun menghargainya,
Bahwa saat ini, sudah bukan lagi hariku.

Bahwa hari ini dan esok, mungkin aku bukan dalam ceritamu.



Sudah berapa lama kamu berpikir,
Bahwa ini cerita tentangmu?





Karena sayangnya, ini bukan lagi tentang aku.
Bukan aku pemeran utamanya disini.




Tetapi, kenapa kata-kata ini rasanya

menyesakkan.

...... sakit sekali?



Pertanyaan lain pun muncul disini, menghantui diri.

akan sampai kapan cerita kita direstui,
oleh waktu;
keadaan;
dan kawan,
butuhkah kamu pergi menjadi pemeran utama di ceritamu sendiri?
Tidakkah waktu yang kita lalui sebagai pemeran pelengkap di cerita masing-masing cukup?
Haruskah kalian pergi dan mencari matahari sendiri?
Tidakkah aku sedih, nantinya sendiri?
merasakan dinginnya malam di tempat yang kita lalui, terhitung tahun-tahunnya disini?


Pagi akan menjelang, malam pun menundukkan kepalanya malu, malu akan pemeran utama yang akan segera mendaki tingginya panggung dunia.
Sedari dulu pagi selalu menjadi sosoknya, pagi selalu menjadi yang dinanti, pagi, ditemani matahari; menjadi pemeran utama selama waktu masih dipatuhi.






Hari kemarin milikmu, begitu juga hari ini dan seterusnya.


Hanya saja, sekarang harinya berbeda
Hari ini menjadi milikmu seorang.
Karena kami telah pulang,



Sekarang, setelah 4 tahun menanti,






Setelah sekian lama berusaha pergi dari sini;

Setelah bersusah payah meninggalkan hari-hari ini;
dan akhirnya jatuh hati, kepada cerita selama kalian disini.





Akhirnya ini cerita tentangmu.
dan Air matamu.
Sendiri.

Ini Epilog dari 'Kita'....
dan Prolog bagi 'Aku'.

Sabtu, 13 Februari 2016

Kata.

Kata, kata apa yang suka sendiri?

Mungkin aku dan kamu tahu jawabannya,
Kita, yang seharusnya sama,
Aku dan duniaku, kau dan duniamu
Kita tahu...
Karena kamu duniaku.
Dan bahasa, juga kata disini adalah kamusku dan kau.
Bahasa dunia aku dan kamu.

Aku selalu menghargai waktu seorang diri. Aku tidak sedang sendiri, tapi duniaku ada disini. Oh, betapa sudah lamanya aku merindukan kesempatan dari Kuasa ini.

Bisakah kita kembali pada pertanyaanku? Aku ingin kamu merasa hal yang sama denganku.

Baik,

Sudah berapa kalimat yang kutulis, sudah berapa paragraf yang tercipta, sudah berapa judul yang ada, apakah kau temukan apa yang kumaksud sebelumnya?

Aku akan memberikanmu kata kata, dan di akhir kataku nanti, kaulah yang memberikan kata itu padaku.

Ada banyak kata yang terlintas disini, di seberang kursi sana dimana empat orang paruh baya sedang membicarakan bisnisnya masing-masing, walau mulut mereka bergerak begitu cepatnya, kata-katanya takkan pernah sampai padaku. Ya, tujuannya bukan padaku.
Sekarang kau tahu bagian pertama dari kata indah itu,

Kepada siapa kata itu terucap.

Ada begitu banyak kata yang berlalu lalang disini, di depan sana dimana dua orang pasangan yang sudah berumur sedang bercakap bagaimana hidupnya dan anak-anaknya yang kini sudah besar dan bahagia. Aku tak dapat mengerti apa arti dari rangkaian kata kata yang mereka ucapkan silih berganti, mereka berucap dengan bahasanya sendiri, namun aku tahu dari rona muka mereka bahwa, mereka bahagia akan itu.
Sekarang kau tahu bagian kedua dari kata itu,

Kamusku dan kamusmu haruslah dalam satu dasar yang sama.

Ada begitu banyak kata yang tidak diucapkan orang-orang disini. Bukan mereka bisu, terkadang mereka hanya tertidur atau lebih menyukai untuk berisik dalam pikirannya, seperti aku saat ini. Orang-orang yang terbangun saat ini, wajahnya menampakkan kata-kata yang berbeda. Disana dimana ada yang sedang 'resah' karena mungkin sedang menunggu keluarganya dirumah untuk menjemputnya selepas pulang, ada yang tersenyum saat melihat ponselnya seakan-akan telah mendapatkan balasan dari kekasihnya.
Sekarang harusnya kau tahu bagian ketiga dari kata itu,

Kata yang tak perlu terucap untuk menyampaikan maksudnya.

Sekarang sudahkah kamu tahu kata itu? Ya, hanya satu kata yang tak perlu bersama dengan yang lainnya untuk menjadi indah. Satu kata yang dua kekasih katakan saat menyatakan cintanya, satu kata yang melegakan saat mengajukan pertanyaan yang dibutuhkan kepastiannya, satu kata yang kamu ucapkan padaku dan membuat duniaku jadi duniamu.

Satu kata yang akan aku ucapkan padamu, tanpa perlu kukeluarkan suara untukmu.

Ya, seharusnya kau mengerti
Kamusku dan kau adalah satu lembar yang sama.

Kataku telah kusebutkan padamu, giliranmulah untuk memberikannya padaku.

Lalu, apakah kau tahu apa kata yang kumaksud itu?

Jika kau tahu, kau sedang mengucapkannya sekarang.




Bukankah itu kata yang indah?

Sabtu, 12 Desember 2015

Dan aku apa?

"And I'm just a bird that stays, when the flocks grow tired and migrates away"
Dan tersebut adalah kata-kata yang terlintas seraya lampu bulan menerangi jalan bagiku untuk berangkat ke tempat peristirahatan setelah berbincang dengan separuh teman yang ada.

Ini aku, setidaknya yang terlintas kali ini.
Aku memiliki tempat, sebuah tempat yang nyaman setidaknya sampai saat ini, bernama rumah. Rumah yang tidak besar, bahkan tidak cukup untuk menampung kami semua pada satu waktu. ya, kami pendatang dan penghuninya. Disana aku nyaman, mereka ada, aku di dalamnya, bermain bersama mengitari pohon itu-itu saja bernama dunia, melayangkan imaji ke angkasa, melantunkan komentar terhadap angka, dan segala...

Ah, betapa menyenangkan saat kuingat lagi...

Kemarin, aku dapat pergi ke tempat peristirahatanku sangat-sangat terlambat. Seringkali aku terpaksa untuk tidak mampir kesana, seringkali bukan terpaksa karenanya, seringkali semata-mata karena mereka ada dan semuanya terasa nyata.
Setidaknya, nyata
nyata saat waktu itu ada.

Dan aku, hanya seekor burung yang diam, saat yang lain mulai bosan dan pergi mencari keindahan baru.

Hari ini, pohonku sama, rumahku sama, hanya mereka yang ada, berganti nyatanya. Aku, selalu disini, berganti teman bermain, berganti imaji, dan mulai lelah berkomentar. Hari ini, semuanya terasa jelas, bahwa waktu terus berjalan, dan terkadang ada yang selalu tertinggal. Hari ini, aku berangkat ke tempat peristirahatan dengan tanya, apalagi yang kulakukan.

Aku, tertinggal.
Sudah banyak teman yang aku temui di rumah ini, pohon ini. mereka yang datang dan aku yang senang, mereka yang membuat pohon bersama, dan mereka yang bosan karenanya, mereka yang tidak ada, dan sekarang pergi bersama yang selalu ada. Mereka yang tahu tempatnya, dan aku, yang termangu karenanya.

Aku selalu diam di pohon ini, berharap dapat bermain, berimaji, bertingkah yang sama seperti dulu, setidaknya satu dua tahun yang lalu. Tapi ternyata aku bertanya, apakah aku menyenangkan untuk berteman? Mereka yang dulu ada kini bermain tanpa acuh aku, pergi terbang ke tempat lain seakan ajakan padaku takkan perlu. Mereka yang dulu selalu berimaji sama, sekarang memiliki imaji tentang cinta dengan kekasihnya, beserta waktu yang dulu selalu kami sempatkan agar berbagi bersama, Mereka yang dulu dikasihi, mencinta seakan membagi emosi dengan orang lain pun tak apa. Mereka yang dulu berbagi, sekarang tak lagi menyempatkan diri berbagi aku. Mereka yang dulu bagiku nyata, sekarang hanya berupa masa-masa.


Aku disini sudah lelah. Harapan seakan tak ada pada pohon ini. Pohon yang rantingnya seakan layu satu demi satu, membiarkan penghuninya berkumpul di satu ranting atau pergi menjauh. Aku yang tertinggal di bawah sini, seakan tak lagi dapat berharap, dan hanya dapat mengenang.

Mungkin aku bukanlah burung seperti kalian.
Burung yang terbang sebebas fana, saat lelah akan satu tempat, dan bosan dengan langitnya.
Mungkin aku bukanlah apa yang selalu seperti kalian, yang selalu dapat bergerak dengan bebasnya, menemukan tempat baru dan menggantinya dengan yang lama, mendapatkan kawanan baru dan tak ada waktu untuk berbagi dengan yang lama, mendapatkan topik baru seakan butuh waktu lama untuk menyelaraskan topik dengan teman lama, saat kau mendapat yang baru, dan aku yang terdiam termangu. Mungkin, aku hanya apa yang selalu menunggu, seakan pasti itu nyata adanya.

Setidaknya aku berterima kasih bahwa kalian pernah berbagi langit denganku, dan aku bukan burung seperti kalian.









Terima kasih, sepertinya pada dasarnya aku hanyalah seorang anjing.

Alvin, Anjing.

Teruntuk masa-masa di ganesha.

Rabu, 11 November 2015

Banteng dan Rusa.

Aaah kota ini...
Kota-ku, yang harusnya indah.


Ya, seharusnya.


Mataku tak sungkan menatap bagian indah ini.
Di antara empat nama, 
utara, selatan, timur, dan barat.
Di barat daya, ada orang yang sepertinya memiliki keterbelakangan mental sedang menari-nari kegirangan diatas kenyataan bahwa dia baru saja terbangun dari tidur lelapnya karena suara dentuman keras.
Di Tenggara, ada tiga orang berlari-lari--entah darimana untuk melihat hal yang tidak ada dimanapun mereka berada sebelumnya, sebelum mereka berlari.
Di Timurnya, tidak ada kumpulan kuda bermesin yang biasanya terparkir dengan bangganya, yang seakan membusungkan dada bahwa namanya ada pada sebuah lembaran komunitas
Di Tengahnya, terdapat banyak puing-puing besi yang berserakan, entah untuk apa dia, dan entah harus apa dia.
Di atasnya, terdapat sebuah pohon bercahaya yang sayangnya tidak mau lagi memancarkan indahnya.
Di Baratnya, tidak ada lagi kendaraan zebra, dimana warna abu dan kuningnya terkadang membuat khawatir, dan tanpanya pun tetap membuat khawatir.

Setidaknya, sekhawatir aku saat sedang menatapnya.
Setidaknya, di sebelahku, terdapat sepasang mata pemuda, yang menatapku kagum. pada dirinya sendiri.
Dan aku, yang kagum pada diriku sendiri.

atas bagaimana kami bisa tetap hidup.



Ya, kami adalah saksi nyata dari hal yang seringkali diberitakan di selebaran pohon yang selalu diantarkan pada rumah kalian di pagi hari. Mungkin nanti pagi aku akan melihatnya didalamnya, atau mungkin pada layar temanku, atau mungkin tidak akan kulihat lagi sampai kapanpun.
Sebuah rusa, saling bertemu muka dengan sebuah banteng, dimana diam pun jadi kenyamanan ternyata, dimana berjalan akhirnya terasa menyakitkan, dimana keduanya saling menolak, atau saling bertubrukan.
Tidak, kali ini si bantenglah yang kalah. setelah berputar penuh sebanyak lima kali dan hampir menabrak dua orang yang kali ini sedang hidup, akhirnya mematikan cahaya pohon dengan ekor yang menandakan kekalahannya.

Sayangnya teman, kejadian ini terjadi di kota-ku
Sayangnya, kejadian ini akan lebih indah jika pada kenyataannya, yang bertengkar bukanlah sebuah mobil hatchbag dan mobil truk dua ruas.
Sedihnya, yang terdengar kali ini hanya teriakan marah, dan isakan tangis.

--

Pikiranku terngiang-ngiang atas bagaimana bisa kejadian-kejadian langka ini ternyata ada untuk hiburan mataku, atas bagaimana hiburan ini menjadi sebuah horor, dan akhirnya membangkitkan bulu kuduk aku, yang seharusnya menikmati kotaku. Angin kali ini bukan lagi musuhku, 
tapi ternyata, musuhku adalah aku yang bukan aku,
manusia.

Jalanku pulang tidak lagi diantarkan oleh cahaya rembulan,
tidak lagi dengan kata-kata indah yang selalu terlewat di depan retina mata,
tidak lagi dengan senyuman adakalanya.
sebagaimana aku mengingatnya

Kotaku, kini berbahaya, ya.
Kotaku, kini tertutup dengan kabut.


Aaaaaaaahhh, kota ini...
Kota milikku, yang seharusnya indah.
Kali ini kamu dihiasi kabut sayang,


Sayangnya kamu tidak sejelas dalam kenanganku di atas tanahmu.

Jumat, 04 September 2015

Tirani.

Aku mencintamu dengan cara tirani,

Aku melakukannya dengan cara yang dilakukan lebah pada putik sarinya.
Aku akan memberikanmu bahagiaku, dan kamu akan memberikanku sesuatu sampai akhir kuberikan padamu.

Aku mencintamu setulus rindu,
dengan caranya yang tak terbahasakan baik bagiku maupun malaikatku.
aku mencintamu setulus itu.

Tapi aku mencintamu dengan cara tirani.

Aku akan membuatmu bahagia, sehingga kau pun buatku bahagia hingga akhir masaku.
Aku mencintamu dengan memaksa,
Aku mencintamu dengan tirani.

Aku mencintaimu dengan tirani.


Tapi sayangku,
manisnya adalah aku mencintaimu.

Selasa, 16 Juni 2015

Menulis.

Dini hari, pukul 2.

Entah mengapa lamunan malam kali ini berubah menjadi kata
jadi imaji yang mengalun lembut di hadapan dahi yang tertutup rambut yang memberontak ini.
kata-kata yang menjadi sebuah frasa, jawaban berupa tanggapan ataupun sanggahan akan pertanyaan yang terlontar sebelumnya.
Apa, Kenapa, Bagaimana, Siapa, dan lainnya.
Semua berawal dari pertanyaan bercanda,
"Mengapa kau tak menulis?"

Tempat ini adalah buku-ku, buku yang dengannya kubagi denganmu.
kata-kata yang diperindah agar kamu tersanjung, dengan harapan keluhku tersampai dan berusaha mengetuk simpati dari hatimu.
Sudah lama dia menjadi seperti itu,
dan sudah terlalu lama pula kubiarkan menunggu.
Kenapa aku tak pernah menulis lagi?

Menulis.
yang dilakukan khalayak saat ingin mencapai hal,
untuk mengingat, untuk menjawab, untuk membuktikan,
bagiku yang mana?

……..Ah, dulu bagiku hanya untuk bercerita.

Lalu mengapa aku berhenti menulis?





…. Hanya di saat seperti ini kita mengandalkan kata 'tak tahu'.

Minggu, 19 April 2015

Sendiri.

Seringkali sendiri membuatku merasa nyaman.
Merasa bagaikan tidak ada gangguan
memiliki udara yang mengalir hanya untukku
memiliki waktu yang berputar demiku
memiliki aku, dan semua khayalanku.
Juga, ketenanganku.

Tapi ada kalanya tidak begitu.
Saat dimana sesuatu membuatmu terganggu,
saat sesuatu membuatmu gelisah
saat dimana keduamu tak tahan akan sendiri,
saat dimana kata pun tak sampai pada telinga,
saat dimana sendiri itu mengganggu

Terkadang, sendirian tidak begitu mengenakkan.

Karena hanya ada tulisan sebagai tempat bercerita.

Minggu, 29 Maret 2015

Manusia seni.

Aku adalah manusia seni.
Aku sendiri yang menyematkan titel tersebut kepada diriku.
Mengapa tidak? aku benar-benar menyukai seni.
Apalagi sifatku sendiri bagaikan sifat benda seni.

Aku gila akan apresiasi.
Aku selalu ingin diperhatikan.
Terlebih lagi, aku tak bisa terikat.
Aku bebas.

Setidaknya sebelum aku mencinta.

Senin, 16 Maret 2015

Pengumuman?

Halo pembaca,

Mohon maaf karena akhir-akhir ini saya jarang post tulisan, curhatan, atau apapun disini. mungkin memang karena sedang sibuk mencari cara agar tidak terlihat sibuk di kesibukan yang padat ini.
Tapi doakan saja agar kuliah penulis lancar ya!

Kalian masih bisa membaca post-post saya yang lama kok :)

Regards,